Quantcast
Channel: Sumbawanews
Viewing all articles
Browse latest Browse all 21793

Fadli Zon : Pemotongan Anggaran Yang Dilakukan Pemerintah itu Menyalahi Undang – Undang

$
0
0

JAKARTA, Sumbawanews.com. – Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menegaskan jika pemotongan anggaran (APBN) yang dilakukan oleh Menkeu RI Sri Mulyani, itu sebagai bukti bahwa pemerintah tak mampu mengelola negara. Pemotongan Rp 133,3 triliun itu menunjukkan jika pemerintak juga tidak kompeten sehingga langsung dikoreksi, dan itu harus diajukan ke DPR RI terlebih dahulu.

“APBN itu baru disahkan seminggu yang lalu, langsung dipotong. Itu tidak bisa seenaknya, melainkan harus diajukan ke DPR RI dulu. Kalau tidak, maka bisa berimplikasi politik, karena melanggar UU. Dimana pemotongan anggaran itu implikasinya sangat besar terhadap perekonomian rakyat,” tegas Waketum Gerindra itu dalam dialektika demokrasi ‘Pajak dan APBN 2016’ bersama Ketua DPD RI Irman Gusman, dan dikretur eksekutif INDEF Enny Sri Hartati di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (11/8/2016).

Pertumbuhan ekonomi yang dipatok 5,1 %, tapi ternyata defisit negara Rp 236 triliun, berarti kata Fadli, negara rugi, tekor, karena penerimaan negara jauh dari target, dan deficit itu lebih dari PDB yaitu 3 %, maka bisa melanggar UU. “Toh, tak amnesty dengan target Rp 165 triliun, yang masuk baru Rp 300 miliar. Jadi, negara ini nafsu besar, tapi tenaganya kurang. Kemudian hanya mengandalkan utang luar negeri. Ini kalau dibiarkan berbahaya,” ujarnya.

Seharusnya kata Fadli, pemeirntah melakukan evaluasi terhadap program kerjanya. Misalnya pembangunan infrastruktur itu untuk siapa dan mana yang harus dibangun? Demikian juga kereta api cepat. Kalau tak ada uang, tidak usah dibangun. Sehingga uang itu bisa dialihkan untuk pembangunan sektor riil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat, yang makin sulit saat ini.

Bahwa postur perubahan APBN itu harus berorientasi pada politik anggaran ekonomi rakyat seperti pertanian, UKM, dan sebagainya. Tapi, yang ada sebaliknya, pemerintah justru memback up ekonomi besar. Terutama kepemilikan dan penguasaan lahan. Untuk itu kata Fadli, DPR meminta pemerintah tidak memotong anggaran dana desa dan dana transfer daerah.

Persoalannya menurut Fadli, memang negara ini tak punya visi, melainkan ‘tiba saat, tiba akal’. Seperti warung kopi, yang nasibnya tergantung kepada pemiliknya. “Jadi, saya tak ingin seperti kata Wapres Jusuf Kalla, dimana kalau Jokowi Presiden negara ini akan hancur. Saya juga tak tahu kemana Sri Mulyani dan Rini Soemarno akan membawa negara ini? Apa untuk Amerika dan Tiongkok? Semua akan tergantung kepada pemerintah dalam mengelola negara,” pungkasnya.

Irman Gusman menegaskan jika kembalinya Sri Mulyani otomatis merupakan koreksi terhadap pemerintah dalam menyusun APBN selama ini (self correction). “APBN itu potret kredibilitas negara seharusnya perubahan itu dari awal, dan untuk mendorong pertumbuhan (stimulus) ekonomi rakyat, sesuai kebutuhan dasar masyarakat,” jelasnya.

Hanya saja kata Irman, APBN itu bukan sebagai sumber dana untuk pembangunan. Sebab, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi itu harus didorong dengan industrialisasi dan investasi. Harus ada kreatifitas dan inovasi untuk meningkatkan pembangunan. “Jadi, utang tidak masalah sepanjang dimanfaatkan sector yang produktif,” tambahnya.

Karena itu Irman berharap dalam penyusunan APBN ke depan, pemerintah harus melibatkan DPR dan DPD RI. Bahwa sudah saatnya kita tidak tergantung kepada APBN dan APBD. Selama ini pengelolaan APBN masih secara tradisional. Padahal, dana transfer darah Rp 62 triliun dan dana desa Rp 46 triliun bisa mendorong pergerakan ekonomi rakyat jika dikelola dengan baik dan transparan.

“Mengelola APBN itu sama dengan kelola rumah tangga, yang anggarannya bisa turun dan juga bisa naik. Untuk itu, APBN itu harus lebih proporsional. Saya tak percaya pertumbuhan ekonomi dengan angka-angka, tapi yang penting berkualitas. Khususnya untuk reformasi pertanian, manufaktur, UKM, dan pertahanan ekonomi itu ada di dalam negeri. Maka, 250 juta penduduk ini harus dijaga sebagai pasar yang baik,” kata Irman.

Irman sepakat dengan Fadli Zon, bahwa pembangunan infrastruktur itu juga harus realistis, yaitu yang mendorong ekonomi dan pendidikan di pedesaan. Kebijakan pemerintah pusat juga harus sesuai dengan daerah masing-masing. Baik sumber daya manusia, sumber daya alam dan khususnya di luar Jawa. Karena itu kita harus menciptakan – gerakkan sejuta intrepeneur-pengusaha di daerah agar tidak berpihak pada kapitalis,” pungkasnya.

Kalau setiap tahun ada perubahan akibat unsur eksternal kata Enny, maka ke depan tidak perlu APBN, karena yang penting adalah merealisasikan janji-janji Presiden RI. “Jadi, dalam membahas APBN itu harus hati-hati meski ada target tax amnesty Rp 165 triliun, sedangkan defisit Rp 233 triliun, kalau mencapai target pun, tetap akan defisit. Aset di luar negeri hanya Rp 5 ribu – Rp 6 ribu triliun, tapi yang di bank  hanya 30 % atau sekitar Rp 2000 triliun. Itu kalau ditarik semua,” ungkap Enny.

Tapi kata Enny, itu bisa dilihat dari sebulan pertama UU Tax Amnesty diberlakukan. Kalau saat ini Rp 300 miliar dari target Rp 165 triliun, maka sulit ke depan dan hampir mustahil target itu akan tercapai dengan cara apapun. Bahwa APBN itu instrument fiscal, dan bukan saja untuk mengelola penerimaan dan belanja negara, maka disitulah seharusnya ada untuk stimuluas pertumbuhan ekonomi.

Terlebih APBN tiap tahun terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir ini. Yaitu dari semula Rp 500 triliun, kini sudah lebih dari Rp 2000 triliun. “Tak ada transformasi struktural. Pemotongan anggaran berdampak makin mendistorsi sector riil. Belanja pemerintah tak efektif karena tak mendorong pertumbuhan ekonomi. Ini kontra produktif. Untuk itu, sebaiknya APBN tidak bertambah, asal pengelolannya baik dan transparan. Anggaran pendidikan 20 % misalnya, yang untuk Kemenag RI hanya ¼ -nya, lalu yang ¾ -nya kemana?” tanya Enny.

Karena itu dia mengatakan pemotongan anggaran itu harus jelas, mana yang harus dipotong dan tidak. Tentu, yang bukan stimulus fiscal yang sudah berjalan 7 bulan ini (45%). Untuk KemenPURR misalnya, yang baru menyerap 15 %, ini yang harus dipotong. “Ini yang tidak jujur. Jadi, tata kelola fiscal kita memang amburadul. Termasuk lapangan kerja dan investasi yang terus menurun. Itu yang menjadikan sector riil tidak bergerak,” tambah Enny.

Bahkan kata Enny, Kemendagri dan Kemendes RI belum juga satu dalam mengelola dana desa, di tengah sulitnya lapangan kerja, daya beli masyarakat yang terus menurun. Padahal, dana desa itu bisa menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi. “Kalau tidak, maka pengangguran akan bertambah. Kecuali pemerintah kerja keras, koordinasinya kementerian bagus, dan transparan, maka pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5%,” pungkasya.(Erwin S)


Viewing all articles
Browse latest Browse all 21793

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>