JAKARTA, Sumbawanews.com. – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan menegaskan jika Presiden Jokowi tidak bisa melakukan pencitraan kecuali kerja dan bekerja. Karena itu tidak benar, kalau kehadirannya ke Kemenhub RI dalam kasus operasi tangkap tangan (OTT) kasus pungli Rp 95 juta dan di rekeningnya Rp 1 miliar lebih, oleh Kepolisian RI pada Selasa (11/10/2016) lalu itu, justru menujukkan bahwa Presiden RI Komitemen melakukan reformasi hukum, sejalan dengan paket reformasi hukum yang dikeluarkan.
“OTT itu dipopulerkan oleh KPK dalam lima tahun terakhir ini. Soal kedatangan Presiden Jokowi ke TKP, hal itu kemungkinan mendapat informasi dari kepolisian jika pihaknya telah melakukan gebrakan hukum di Kemenhub RI. Jadi, OTT itu dari Kemenhub RI terkait pelayanan publik,” tegas politisi FPDIP itu dalam dialektika demeokrasi ‘OTT Pejabat Kemenhub RI Antara Penegakan Hukum dan Pencitraan’ bersama Sekjen DPP PPP yang juga anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, dan pakar hukum pidana UI Arsul Sani di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (13/10/2016).
Masalah hasil OTT itu jumlahnya disebut kecil Rp 95 juta (pungli), dan Rp 100 juta (Irman Gusman) menurut Trimedya, kita tidak melihat jumlahnya. “Justru dari jumlah yang kecil tersebut bagaimana dari OTT itu bisa membongkar mata rantai – jaringan korupsi dan pungli itu di lembaga negara. Selanjutnya, bagaimana kasus itu benar-benar ditindaklanjuti. Seperti sanksi, pemecatan, dan sebagainya untuk menghindari kesan pencitraan itu,” ujarnya.
Yang diharapkan lagi kata Trimedya, reformasi hukum itu terjadi di lembaga negara yang lain khususnya penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pertanian, pertanahan, dan lembaga lain. Baik terkait perizinan (SIM, STNK, sertifikat tanah, dll). Dia heran, mengapa sertifikat tanah itu jumlahnya sampai 10 sertifikat. “Begitu mudahnya membuat sertifikat. Pak Tito Karnavian juga harus mampu membenahi Satlantas kepolisian untuk mengembalikan kepercayaan rakyat dalam mencari keadilan,” tambahnya.
Karena itu kata Trimedya, Kejagung RI, Kepolisian RI, para menteri, dan lembaga lainnya yang langsung berada di bawah Presiden RI, harus mampu mengikuti komitmen Presiden Jokowi. Sebab, sukses tidaknya reformasi penegakan hukum akan tergantung bawahannya. “Jadi, semangat Presdien RI harus diikuti dengan semangat Kapolri (100 hari), Kejagung RI (2 tahun), Kementerian RI, dan lainnya dari pusat sampai daerah. Dimana keberhasilan Presiden Jokowi tergantung bawahannya,” pungkasnya.
Arsul Sani menilai kalau ada unsur pencitraannya dalam kasus pungli di Kemenhub RI itu sah-sah saja. Tapi, yang harus diperhatikan adalah konsistensinya, kelanjutannya agar langkah yang sama dilakukan di lembaga lain. Khususnya di lembaga penegak hukum. Seperti di internal kepolisian, Kejagung RI, dan kementerian lainnya.
Seperti tata kelola SIM, STNK, dan perizinan yang lain kata Arsul Sani, di Jakarta masih lumayan baik, tapi kalau di daerah masih semrawut dan banyak pungli. “SIM misalnya yang seharusnya membayar Rp 180 ribu, tapi masyarakat harus mengeluarkan uang sampai Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu. Untuk Ombudsmen, yang bertugas mengawasi penyelenggara negera harus diberdayakan dengan memberikan kewenangan memberi sanksi,” jelas Arsul lagi.
Akhyar Salmi mengatakan soal OTT itu tergantung siapa yang menilai, tapi dari semangatnya Presiden sungguh-sungguh untuk melakukan reformasi hukum dengan operasi pemberantasan pungli (OPP). Bahwa penegakan hokum yang serius itu memang ada di Kejaksaan dan Kepolisian. Khususnya terkait dengan perizinan. “Kalau Presiden serius, maka OTT itu harus ditindaklanjuti di lembaga lain agar tidak dinilai sebagai pencitraan,” ungkapnya.
Yang terpenting dalam penegakan hukum itu kata Akhyar, harus ada pembagian tugas, mana yang menjadi wilayah KPK, Kepolisian, dan Kejagung RI. “Dengan UU Tipikor khususnya pasal 5, 11, 12 B, yang digunakan untuk menjerat kasus korupsi dan gratifikasi, maka harus ada pembagian tugas antara KPK, Kepolisian dan Kejagung RI,” pungkasnya.( Erwin S)