Jakarta, Sumbawanews.com. – Meski di tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK sempat dihadapkan kepada gonjang-ganjingnya DPR RI yang terbelah dengan lahirnya Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), namun selanjutnya sudah berjalan efektif. Khususnya di tahun 2016 pembahasan RUU, pemilihan Panglima TNI, Kapolri, KPK, BIN, Tax Amnesty dan lainnya berjalan lancar antara pemerintah dan DPR RI. Namun, di sana-sini masih ada yang harus dituntaskan. Seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesejahteraan rakyat.
Demikian yang mengemuka dalam dialektika demokrasi ‘Refleksi dua tahun Jokowi-JK’ bersama Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, anggota FPDIP DPR Maruarar Sirait, Direktur Eksekutif IndoBarometer M. Qodari, dan Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (20/10/2016).
Dalam pertemuannya dengan masyarakat, Fadli Zon mengakui jika hidup saat ini lebih susah, susah mencari kerja, pertumbuhan ekonomi membaik tapi justru meningkatkan pengangguran. “Jadi, pertumbuhan ekonomi malah tidak menghasilkan tenaga kerja (jobless growt). Padahal target pertumbuhan ekonomi 7 %, tapi baru 5,18 %,” ujar Waketum Gerindra itu.
Ironisnya lagi lanjut Fadli, pembangunan kereta cepat, pekerjanya justru dari Tiongkok, asset PT Indosat masih dikuasai asing, 100 sentra perikanan, sejuta hektar sawah, 1000 kampung nelayan, birokrasi online, dan lain-lain belum terwujud. “Jadi, yang masih jauh dari poros maritime yang dijanjikan. Memang ada pembangunan 53 proyek jalan tol, 13 bandara, 19 jalur kereta api, 10 pelabuhan, dan lain-lain,” tambahnya.
Secara politik pun kata Fadli, semakin tidak berdaulat. Dimana sudah ada 6 negara kecil di luar negeri yang menyetujui Papua merdeka. Di laut banyak terjadi penyanderaan, membebaskan visa bagi 109 negara, tapi tidak reciprocal, yaitu kita tidak bebas visa ke 109 negara tersebut. “Jadi, untuk apa?” kita seolah tidak dihormati negara lain,” kata Fadli Zon.
Impor masih terjadi di semua sektor: dari garam, gula, daging, kedelai, jagung, ikan, beras, dan masih banyak lagi. Karena itu kata Fadli, tidak ada kedaulatan pangan. “Trisakti dan Nawacita justru makin tidak bisa dimengerti rakyat,” pungkasnya.
Sementara itu secara hukum, banyak kasus-kasus besar malah didiamkan, tapi hanya peduli kepada yang kecil. Seperti pungli di Kemenhub RI yang langsung didatangi Presiden Jokowi, ini tak lebih hanya sebagai pencitraan.
Marurar menegaskan sebaliknya jika pemerintahan saat ini berjalan lebih efektif dengan DPR RI. Hal itu dibuktikan dengan proses pembahasan RUU. Seperti RUU Pilkada, Tax Amnesty, pengangkatan Panglima TNI, Kapolri, komisioner KPK, Kepala BIN, dan lain-lain. “Semua berjalan efektif dan terukur, juga tidak ada rapat-rapat antara KMP dan KIH. “Kita memang ingin terwujudnya check and balances. Sehingga, Golkar, PAN, dan PPP, yang semula di KMP, saat ini semua mendukung pemerintah,” jelasnya.
Secara hukum kata Maruarar, kalau sebelumnya terjadi konflik antara KPK Vs Polri kini tidak ada lagi. Semua lembaga penegak hukum berjalan baik dan sinergi untuk menegakkan keadilan. “Pungli, adalah contoh yang baik, meski jumlahnya kecil, namun pungli ini terjadi secara massif di seluruh sektor kehidupan masyarakat, dari pusat sampai daerah. Ekonomi pun tumbuh 5,4 %,” tuturnya.
Qodari menegaskan jika dari hasil semua survei, dua tahun pemerintahan Jokowi-JK ini rakyat merasakan lebih baik. Khususnya dalam masalah pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pemberantasan narkoba. Tapi, masih ada ketidakpuasan dalam kenaikan harga-harga sembako, kemiskinan, dan pengangguran.
Konsolidasi politik di tingkat elit pun kata Qodari, berjalan baik (70%), dan konsolidasi di tingkat public berjalan dinamis, meski ada ketidakpuasan di bidang ekonomi. “Jadi, pemerintahan ini sudah berjalan on the track, sesuai dengan janji Pilpres, meski memang ada keberhasilan, dan ada pula yang belum tercapai. Tapi, makin lama, Jokowi sebagai Presiden RI makin kuat,” tambahnya.
Enny menyatakan soal ekonomi memang dunia mengalami penurunan. Seperti Amerika, 3% dan Eropa 4%, tapi India bisa mencapai 7%, dan Vietnam 7,5 %. Nah, Indonesia yang tumbuh 5,18 % ini bersifat semu. Yaitu, tidak menghasilkan tenaga kerja. Juga inflasi terendah 3% disbanding pemerintahan sebelumnya, tapi daya beli masyarakat justru menurun 5,5%. “Celakanya ekspor kita menurun, sehingga mikro prudentialnya hancur,” katanya.
Perspektif kawasan Indonesia Timur – Barat , desa – kota, yang terjadi masih di Jawa sentris, daya saing menurun. Pendidikan dan kesehatan diparesiasi, tapi peringkatnya menurun ke 108 dari 130 negara, karena lulusan SMK-nya tidak bisa langsung bekerja. “Jadi, 13 paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah itu tidak efektif. Nawacita memang tidak bisa dinilai sekarang karena masih 2 tahun. Yang penting, apakah benar on the track atau tidak?” pungkasnya mempertanyakan.(Erwin S)