
“Masa Depan Demokrasi Indonesia” di Aula Pemprov Bengkulu, menjelang larut malam di hari pertama Fahri mengeksplorasi rumah pengasingan Bung Karno.
Pada hari kedua Fahri Hamzah menjadi khotib dan imam di Masjid Raya Baitul Izzah Bengkulu. Dari podium khutbah, Fahri juga mentransfer konsepsi Islam tentang demokrasi dan menumbuhkan karakter kebaikan.
Sorenya menjelang kembali ke Jakarta, giliran Fahri menyemangati para guru di Madrasah Aliyah Yayasan Darussalam agar menyemai tumbuhnya keberanian di hati para anak murid.
Keberanian secara khusus disuntikkan oleh Fahri Hamzah karena Bengkulu seperti berhenti bergeliat dan semua jajaran, termasuk masyarakatnya, tertunduk dengan wajah ketakutan. Berbagai peristiwa yang terjadi belakangan di provinsi pesisir yang terkenal dengan Pantai Panjang ini memang membuat muram semua orang.
Tujuh hari sebelum datang ke Bengkulu, Fahri Hamzah telah menyambangi provinsi ini melalui Twitternya. Bertagar #AdaApaBengkulu – Fahri menyindir KPK yang melakukan sapu bersih OTT hakim, gubernur dan jaksa. Bengkulu mencekam dibuat KPK.
Lima hari sebelum datang ke Bengkulu, di sebuah televisi nasional, Fahri Hamzah menyerang kepemimpinan nasional yang lembek menghadapi genosida Rohingya. Ia membenturkan kesadaran publik pada sejarah keberanian Indonesia yang tangguh. Republik ini tidak pernah bermuka santun ketika menjumpai penganiayaan atas kemanusiaan. Dan Sukarnolah yang mengajarkan kita.
Sukarno, Presiden pertama RI, empat tahun diasingkan di Bengkulu, selepas dari Ende, NTT yang jadi endemi Malaria. Terpikat pesona luar dalam Fatmawati, ibunda Presiden ke-5 Indonesia Megawati, Sukarno mengalami banyak pergulatan batin. Pikirnya bergelora seperti ombak lautan Hindia dari barat Bengkulu yang bergulung-gulung. Dari awal Fahri Hamzah mengatakan bahwa kunjungan kerja Bengkulu adalah “Napak Tilas Bung Karno”.
Romantika asmara dan romantisme perlawanan berkeliaran di Bengkulu. Dari berbagai panggung tempatnya berorasi, Fahri Hamzah terus mengingatkan Bengkulu tentang ruh Sukarno yang seharusnya diwarisi, yakni tentang keberanian dan perlawanan atas dasar kebenaran dan kemanusiaan.(Erwin s)