JAKARTA, Sumbawanews.com. – Mengingat tidak ada negara yang tidak memiliki lembaga tertinggi negara, maka tidak salah jika MPR RI memiliki fungsi tertinggi di negara Indonesia. Mengapa? Tidak cukup visi dan misi Presiden RI terpilih dijabarkan menjadi Rancana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan kalau Presiden itu memiliki misi tertentu, maka habislah negara ini. Karena itu MPR RI harus kembali merumuskan sistem ketatanegaraan dan membuat program pembangunan seperti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
“Kalau tidak menjadi lembaga tertinggi negara, setidaknya MPR RI memiliki fungsi tertinggi negara. Diantaranya merumuskan program pembangunan semacam GBHN. Pada prinsipnya bagaimana dengan Pancasila ini mengantarkan rakyat hidup dengan adil, makmur, sejahtera,” tegas Ketua Lembaga Pengkajian MPR RI Ja’far Hafsah dalam dialog kenegaraan ‘MPR RI Rumah Kebangsaan – Mengawal Kedaulatan NKRI’ bersama anggota MPR/DPR RI H. Lukman Edy di Gedung DPR RI, pada Senin (21/9/2015).
Dulu BP7 (Badan Pengkajian Pancasila, red), agar kita menjadi Pancasilais, untuk itu dibutuhkan MPR RI tampil untuk sosialisasikan 4 Pilar MPR RI. Karena itu MPR RI sebagai rumah kebangsaan dan pengawal Pancasila dan pengawal konstitusi. Tapi, MPR RI minta pemerintah membuat lembaga baru untuk mematangkan Pancasila.
Pancasila harus diuji dari berbagai variabel karena mencakup seluruh aspek termasuk kemiskinan, ketimpangan sosial (generasio). Di mana kalau ukurannya beras dan kebutuhan pokok, jumlah kemiskinan 27 juta orang, dan kalau ukurannya dollar AS jumlah itu meningkat menjadi 90 jutaan orang. “Makanya untuk kondisi saat ini dibutuhkan Presiden RI yang mempunyai jam terbang yang mumpuni dan cerdas mengantisipasi perekonomian rakyat,” ujarnya.
Menurut Lukman Edy, ada dua hal penting soal MPR RI selain sebagai sosialisasi 4 Pilar MPR RI, yaitu MPR RI sebagai kelembagaan dan Pancasila sebagai perekat perbedaan. Juga ada usul pemilihan DPR RI, DPD RI dan Presiden RI terpisah dengan Pilkada.
Khusus untuk MPR RI diupgrade kembali, karena perkembangan saat ini banyak yang aneh-aneh di mana tak ada dalam suatu tidak ada lembaga tertinggi negaranya. Pertama, seperti GBHN atau sejenisnya, karena kemepimpinan negara itu harus ada garis-besarnya (pedoman). Kalau ganti-ganti Presiden RI, maka ganti pula visi dan misinya, maka pembangunan tidak akan tercapai sehingga dibutuhkan GBHN, agar ada kesinambungan pembangunan, reasonable.
Kedua, MPR RI mempunya kewenangan tertinggi. Ketiga, TAP MPR RI yang punya kekuatan keluar, karena selama ini hanya mengatur ke dalam. Apakah tiap-tiap UU harus mempertimbangkan TAP MPR RI. Kalau Tap MPR RI bisa mengikat keluar, maka Presiden dan menteri-menterinya bisa taati TAP MPR RI dan memasukkan Pancasila ke dalam semua produk UU. “Selama ini Pancasila hanya ada dalam pembukaan UUD NRI 1945.
Keempat, isu sidang tahunan MPR RI yang efektif, karena yang sudah digelar pada 16 Agustus 2015 lalu tidak efektif. Hanya formalitas, terlaksana karena didorong-dorong, lembaga negara menitipkan laporannya ke Presiden RI. Padahal, dari sidang tahunan MPR RI itu untuk mengevaluasi kinerja penyelenggara negara terhadap pelaksanaan UUD NRI 1945. Untuk itu harus dikaji ulang.
Hal penting yang kedua, adalah isu SARA, seperti paham radikalisme, kasus Tolikara, Papua, untuk mengganggu desintegrasi bangsa. Hubungan pusat dan daerah harus dijaga dengan baik, kalau tidak akan menjadi bibit desintegrasi bangsa. Seperti kasus asap kebakaran di Riau, yang tidak cepat direspon oleh Pusat, sehingga mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia.
Kemduian paham global, yang tidak mengetahui pemerintah dan pemerintah dianggap sebagai thogut (setan), maka Pancasila menjadi penting untuk terus-menerus disosialisasikan. Blokir sebuah situs tidak cukup tanpa memberikan bimbingan kepada tokoh. Namun, kalau kemiskinan sebagai lawan Pancasila, benar. Hanya saja kalau kemiskinan saat ini lajunya 100 km per jam, sosialisasi 4 Pilar MPR RI lajunya baru 25 km per jam.
“Ya, masih bagus, karena angka 25 km per jam itu nantinya kalau terus-menerus dilakukan bisa mengejat 100 km per jam. Apalagi kini utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 4000 triliun lebih akibat dollar tembus Rp 14.400,-, sehingga setiap WNI harus menanggung Rp 18 juta,” pungkasnya. (Erwin S)