JAKARTA, Sumbawanews.com. – Anggota Panja RUU Tembakau Taufiqulhadi dari Fraksi NasDem menegaskan jika RUU Tembakau yang sedang dibahas oleh Panja RUU Tembakau DPR RI ini adalah untuk melindungi sekaligus mensejahterrakan petani tembakau. Apalagi RUU ini tidak saja membicarakan soal kesehatan atau bahaya rokok, tapi juga untuk kedaulatan petani tembakau. Karena itu hanya importir rokok dan tembakau yang tidak menginginkan RUU ini disahkan.
“Jadi, seluruh elemen masyarakat baik elit maupun petani tembakau harus berpikir rasional dengan RUU ini, sehingga akan ada kemitraan antara pengusaha rokok dan petani tembakau. Jangan sampai ada lagi impor tembakau dari luar, sedangkan tembakau kita diekspor untuk industri rokok asing, untuk kemudian dijual lagi ke Indonesia,” tegas Taufiqulhadi yang juga pengusul RUU Tembakau ini dalam forum legislasi ‘RUU Tembakau’ bersama pengamat politik ekonomi Ichsanuddin Noorsy dan Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) WIsnu Brata di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (26/7/2016).
Dalam pembahasan RUU ini kata Taufiqulhadi, sudah ada serangan asing melalui koalisi anti rokok. Tapi, kalau kita mempunyai komitmen moral dan jati diri bangsa yang kuat, maka serangan dan intervensi asing itu tak akan merontokkan komitmen DPR RI maupun pemerintah RI untuk segera mengesahkan RUU ini menjadi UU. “Jadi, kalau tidak akan diparipurnakan pada sidang ini, maka RUU ini akan disidangkan pada sidang berikutnya,” ujarnya.
Ichsanuddin Noorsy mengingatakan agar RUU ini melindungi kedaulatan petani tembakau dari hulu sampai hilir, dan membicarakan tembakau secara komprehensif, dan global. Dimana tembakau bukan saja untuk industri rokok, melainkan juga untuk kertas uang, dan farmasi lainnya. “Farmasi yang terbesar di dunia ini ternyata dikuasai oleh Amerika Serikat. Bukan Rusia maupun Eropa. Sehingga dalam dunia farmasi ini sudah memasuki babak perang dunia,” tambahnya.
Menurut Noorsy, industri rokok justru dilihat oleh asing sebagai pintu masuk penggunaan narkoba, melalui nikotin yang bisa membuat seseorang ketagihan atau kecanduan. Dan, yang paling menikmati keuntungannya adalah industri rokok. Bukan petani tembakau “Jadi, RUU ini jangan hanya bicara soal rokok, melainkan harus makro kepentingan ekonomi yang besar. Apalagi asing sudah menguasai 58 % industri rokok di Indonesia. Itulah yang disebut sebagai modern selebery system, dan dengan UU ini Indonesia harus siap digugat oleh dunia internasional,” ungkapnya.
Wisnu Brata mengatakan jika petani saat ini hampir frustrasi, karena masalah tembakau ini sudah lama dan negara tidak pernah hadir. Tapi, dengan RUU ini, seperti ada pencerahan, ada penebusan dosa bagi petani. “Sejak tahun 1999 ketika Presiden BJ Habibie saat itu diatur melalui PP No.72/1999 yang mengatur soal tar, tapi pada tahun 2000 sudah keluar rokok mild, yang justru mematikan industri kecil, karena untuk mild perlu investasi besar,” keluhnya.
Maka kalau sebelumnya hanya mengusai 7% industri rokok nasional, tapi saat ini sudah mencapai 58%. Untuk itu, kalau pemerintah tidak hadir, maka 5 – 10 tahun ke depan petani tembakau di Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, dan NTT akan tinggal kenangan. Dimana petani tembakau sudah tidak ada, namun rokok masih beredar luas di Indonesia. Nasib itu akan sama dengan kasus bawang merah, bawang putih, dan lain-lain,” jelas Wisnu.
Kalau itu terjadi kata Wisnu, maka itulah imperialisme modern. Namun, dengan RUU Tembakau ini, masih ada harapan dan pencerahan bagi petani tembakau. Karena itu APTI mendesak agar RUU ini segera disahkan menjadi UU. “Hanya saja, kalau pelaksanaannya ditunda sampai 6 tahun kemudian, maka khawatir petani tembakau akan sekarat duluan,” pungkasnya.(Erwin S)