JAKARTA, Sumbawanews.com. – Komisi VIII DPR akhirnya menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak untuk disahkan menjadi Undang-Undang dala forum rapat paripurna DPR mendatang. Poin lain yang perlu diakomodasi oleh peraturan turunan adalah masalah rehabilitasi dan pengungkapan identitas pelaku.
Demikian dikatakan Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher setelah menerima sejumlah masukan dari DPR diharapkan menjadi pertimbangan pemerintah dalam membuat peraruran turunan. Misalnya, persoalan penolakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk menjadi eksekutor hukuman kebiri. “Kami hargai dari sisi profesinya. Tapi negara juga harus memiliki kepastian dari penerapan UU itu karena harus ada eksekutoe yang menjalankannya,” tegas politisi PAN di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (26/7/2016).
Karena itu dia berharap, ketika aturan tersebut diundangkan, kejahatan dan kekerasan seksual terhadap anak sedapat mungkin bisa diminimalisasi. “Kami berharap rapat koordinasi antara pemerintah, dalam hal ini Menteri PPPA, Mensoa, Menkes, dan Menkumham akan segera membicarakan aspek-aspek turunan dari UU yang diputuskan itu,” pungkasnya.
Sebelumnya Komisi VIII DPR sepakat untuk membawa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak ke tingkat kedua atau rapat paripurna. Rapat paripurna pengambilan keputusan soal Perppu yang salah satunya memuat hukuman kebiri itu, akan digelar pada Kamis (28/7/2016) mendatang.
Sementara itu tujuh fraksi menyetujui untuk menjadikan Perppu No 1/2016 sebagai UU, sementara tiga fraksi belum menyatakan sikap. Tiga fraksi itu adalah Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). “Maka secara konstitusional kami dapat menyetujui bahwa Perppu No 1/2016 ini kami ajukan pada pembahasan tingkat kedua untuk menjadi UU,” kata Ketua Komisi VIII Ali Taher.
Anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Golkar, Endang Maria Astuti, saa menyampaikan pendapat mini fraksi, berharap, jika UU tersebut telah disahkan maka pemerintah mempertimbangkan masukan dari masyarakat. “Serta mencari solusi yang tepat dengan tetap melibatkan pihak terkait, termasuk IDI,” kata Endang.
Sementara itu, Anggota Komisi VIII dari FPKB, Maman Imanulhaq menekankan, tiga nilai dalam UU tersebut yaitu untuk konsistensi penegakan hukum, membangun pengaturan untuk pengaturan untuk perlindungan dan pemulihan korban, serta menjamin sanksi yang jelas dan efek jera pada peraturan-peraturan keturunan. “Dengan ini fraksi PKB menyetujui untuk disahkannya Perppu 1/2016 ini menjadi UU pada pembicaraan selanjutnya,” ujar Maman
Anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Pengganti Undang-Undang, Perppu seharusnya diajukan pada masa sidang berikutnya. Alasannya, Perppu ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 25 Mei 2016.
Menurut Ledia, proses tersebut membutuhkan pembahasan matang. Karena itu, FPKS juga masih memiliki catatan subatantif terkait Perppu tersebut. “Jadi, FPKS menyatakan bahwa kami tidak akan memberikan pendapat pada sidang ini karena kami tidak menginginkan ada kesalahan prosedur yang fatal karena berkaitan dengan pelanggaran konstitusi UUD 1945,” ungkapnya.(Erwin S)