Quantcast
Viewing all articles
Browse latest Browse all 21843

Rieke Diah Pitaloka : Pemerintah Harus Menetapkan Upah Layak Nasional

Jakarta, Sumbawanews.com. – Pemerintah didesak mencabut formula upah murah dan menetapkan upah layak nasional tahun 2016. Sebab, formulasi upah minimum pemerintah dengan metode: upah minimum = upah minimum berjalan + inflasi + pertumbuhan ekonomi seperti ini, memperlihatkan metode politik upah murah. Apalagi RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tentang Pengupahan tidak pernah diterbitkan oleh pemerintah, sehingga formulanya tidak jelas dan malah akan disahkan pada akhir Oktober 2015 ini.

“Ada satu komponen yang tidak diperhitungkan pemerintah, yaitu prosentasi kejatuhan nilai tukar. Jadi, jika pemerintah bersikeras menggunakan formula tersebut, saya mendesak pemerintah untuk memasukan prosentase nilai tukar rupiah,” tegas anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, kepada wartawan, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (20/10).

Mengapa? Karena kejatuhan nilai rupiah merupakan bagian dari antisipasi menghitung risiko keuangan. Bukan hanya inflasi, tetapi juga harus memperhitungkan bunga bank dan nilai tukar. “Risiko pasar dan risiko keuangan, pada akhirnya terkait dengan persoalan ketergantungan terhadap impor. Dari impor itulah terjadi inflasi yang mendorong naiknya biaya-biaya, termasuk yang harus dikeluarkan oleh pekerja dan keluarganya,” ujar Rieke.

Menurut Rieke, inflasi sama dengan pemangkasan terhadap daya beli karena nilai tukar diperdagangkan, makanya Rieke mendesak fluktuasi nilai tukar dimasukan dalam komponen kenaikan upah minimum. Yang tidak kalah membahayakan dari RPP Pengupahan Jokowi ini, adalah menghilangkan realitas kebutuhan hidup layak (KHL) pekerja dan keluarganya.

RPP tersebut kata Rieke, mengubur survei terhadap komponen KHL, yang sejatinya jika dilakukan dengan metode yang benar, akan mampu mengungkap kebutuhan riil dan daya beli akibat kebijakan ekonomi pemerinah. “Kalau komponen KHL dihilangkan, maka angka kenaikan upah yang dimunculkan, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan jelas cenderung menafikan dampak kebijakan ekonomi terhadap rakyat. KHL dan metode survei harus tetap ada, dengan beberapa koreksi yang memperkuat kehadiran negara,” tambahnya.

Dikatakan, RPP Pengupahan yang menjadi kebijakan Presiden Jokowi, dinilai memberangus proses musyawarah dalam dialog sosial yang seharusnya mutlak dipertahankan untuk membangung relasi tripartit, yaitu pekerja, pengusaha dan pemerintah di dalam Dewan Pengupahan.

Padahal lanjut Rieke, di saat tripartit dihapus, maka dengan sendirinya Dewan Pengupahan pun dipenggal. Di negara mana pun, termasuk di negara-negara industri maju, tripartit adalah salah satu pilar kekuatan bagi industri nasional.

Desakan yang sama, dikemukakan Sekjen Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang Kulit Indonesia (FSPTKI), Indra Munazwar. Dia mengatakan, Peraturan Pemerintah (PP) terkait pengupahan merupakan amanat Pasal 97 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tetapi muatan PP dan Permenaker Pengupahan tersebut, dinilai cacat hukum dan ilegal.

“Saya katakan ilegal, karena Pasal 88 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa ‘Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghitungan yang layak bagi kemanusiaan,” ujar Indra.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 88 ayat (3) UU tersebut, dikatakan bahwa upah minimum ditetapkan gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau bupati/walikota.

Hal itu, kata dia, diperkuat Pasal 98 ayat (1) UU tersebut. Yaitu disebutkan bahwa untuk memberikan saran, pertimbangan dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional, dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan kebupaten/kota.

Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Surat Edaran Mendagri yang memerintahkan gubernur selaku yang berwenang menetapkan upah minimun untuk mengikuti RPP pengupahan.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Forum Buruh DKI, Joko Wahyudi mengatakan, isu aturan baru formula upah dengan rumusan kenaikan upah minimum, besarannya adalah upah minimum berjalan ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi, menjadikan kenaikan upah tidak realistis, hanya sekitar 10 persen.

“Upah buruh yang selama ini sudah rendah, semakin jauh dari layak dan tingkat kesejahteraan pekerja/buruh akan semakin memburuk. Hal itu, akan berdampak pada merosotnya daya beli buruh,” ujar Joko.

Desakan mencabut formula upah murah, juga disampaikan Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar. Dia mengatakan, RPP Pengupahan yang diformulasikan pemerintah, dinilai ilegal dan tidak demokratis.

“Rumusan formula upah minimum yang kenaikannya hanya ditentukan faktor pertumbuhan ekonomi dan inflasi, dinilai tidak tepat, karena hanya menggunakan pendekatan kenaikan upah berbasis angka semu, bukan upah berbasis kemampuan daya beli riil,” pungkas Timboel.

UMP DKI 2015 adalah 2,7 Juta dengan rumusan formula upah pemerintah maka UMP 2016 menjadi 2,9 Juta sehingga kenaikan sekitar 10% saja, angka 2,9 Juta untuk biaya hidup layak di DKI sangat jauh buruh akan miskin terlebih yang berkeluarga. Nominal 2,9 Juta proyeksi UMP DKI 2016 adalah sama dengan UMK Bekasi 2015 saat ini, sungguh tidak masuk akal dan tidak realistis. (Erwin S)


Viewing all articles
Browse latest Browse all 21843

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>